Kehilangan tempat bergantung.
Ketika Prof. Kohnstamm membuka tahun-peladjaran baru dari
Nutseminarium jang ia pimpin di Amsterdam beberapa tahun jang
lalu, dimulainja pidato-pembukaannja dengan memperingati seorang koleganja jang karib, Prof. Paul Ehrenfest, Guru-Besar dalam ilmu-fisika jang kebetulan baru meninggal dunia dengan tjara
jang amat mengedjutkan dunia wetenschap diwaktu itu.
Prof. Ehrenfest amat ditjintai oleh teman sedjawatnja sebagai
sahabat jang setia, dihormati dan disajangi oleh peladjar2 sebagai
pemimpin dan bapa dalam ilmu jang ia perdalami. Guru-Besar tersebut telah meninggalkan dunia jang fana ini masuk kealam baka
dengan..., membunuh diri, setelah ia membunuh lebih dahulu seorang anaknja jang amat ditjintainja dan tunggal pula.
Siapakah jang tidak akan heran, terkedjut dan sedih mendengar
peristiwa itu ?
Paul Ehrenfest seorang terpeladjar. Seorang intelek dengan-arti
jang penuh. Ia berasal dari pamili jang baik2. Ia telah, mendapat
peladjaran dan didikan jang teratur menurut tjara didikan jang sebaik2-nja jang ada ditempat kelahirannja. Otaknja jang amat tadjam itu telah menukik menggali rahasia ilmu jang dapat ditjapai
oleh manusia dizamannja pula. Dari seorang jang menerima ilmu,
ia telah sampai kepada deradjat seseorang jang mengupas, m e r e -
t a s dan m e n a r a h rahasia2 ilmu pengetahuan jang masih tersembunji dan menjediakan buah penjelidikannja itu untuk dihidangkan kepada dunia luar, kepada orang banjak, dan perangkatan baru
jang akan menjambung dan meneruskan pekerdjaannja.
Tak pernah terdengar ia melakukan sesuatu pekerdjaan jang tertjela. Pergaulannja selalu dengan orang baik2 pula. Achlaknja baik
penjajang dan disajangi.
Kenapakah sekarang ia melakukan sesuatu perbuatan jang lebih
buas dan ganas sifatnja dari perbuatan seorang pendjahat, membunuh anak sendiri, dan setelah itu membunuh dirinja pula ?
Tentu ada satu rahasia kehidupannja jang tidak diketahui orang
luar... !
Dari suatu surat jang ditinggalkannja untuk teman sedjawatnja
jang paling rapat, jakni Prof. Kohnstamm itu njatalah, bahwa perbuatan jang menewaskan dua d jiwa itu bukan suatu pekerdjaan
terburu nafsu, melainkan suatu perbuatan jang telah difikir lama,
berasal dari suatu perdjuangan ruhani jang telah mendalam, jang
tak dapat diselesaikannja dengan lautan ilmu jang ada padanja itu.
Ternjatalah dari surat-nja bahwa mahaguru ini kehilangan ideal,
kehilangan tudjuan-hidup!
Didikan jang diterimanja dari ketjil, pergaulannja selama in dengan orang kelilingnja, telah memberi bekas kepada djiwanja
bahwa tak ada jang lain, pokok dan tudjuan hidup jang sebenarnja,
selain dari wetenschap. Dikurbankannya segenap tenaganja, ditumpahkannja seluruh tjita2-nja kepada wetenschap, sampai ia mengin-
-djak tingkatan jang tinggi dalam ilmu-pengetahuan itu.
Tak ada jang- lebih baik dari wetenschap. Ta'k ada jang tersembunji dibelakang wetenschap. Wetenschap diatas dari segalanja...!
Akan tetapi rupanja lambat-laun masih ada hadjat ruhani jang
tak dapat dipuaskan dengan wetenschap itu.
Semakin lama ia memperdalam ilmu, semakin hilang rasanja
tempat berpidjak. Apa jang kemarin masih benar, sekarang sudah
tak betul lagi. Apa jang betul sekarang, besok sudah -salah pula.
Demikian wetenschap !
Ruhaninja dahaga kepada suatu tempat berpegang jang teguh,
satu barang jang absolut, jang mutlak. Tempat menjangkutkan
sauh bila ditimpa gelombang kehidupan, tempat bernaung jang teduh, bila datang pantjaroba ruhani.
Semua ini tak mungkin diperdapatnja dengan se-mata2 berpuluhan dalil, ratusan aksioma dan hipotese jang diperolehnja dengan
wetenschap itu.
Ehrenfest mempunjai seorang anak jang amat ditjintainja. Ia
harap, bahwa anak inilah jang akan meneruskan pekerdjaannja,
menjambung tenaganja jang tentu pada suatu masa akan,habis
djuga.
Ditjobanja mendidik anaknja' itu dengan se-sempurna2 didikan.
Maklumlah anak seorang profesor.
Akan tetapi kenjataan, anak ini tidak pula sempurna otaknja.
Sebagai seorang profesor, sudah tak sjak lagi, tidak ia akan membiarkan keadaan anaknja dengan begitu sadja. Uang tjukup pembajar dokter. Kepintaran kedokteran tak kurang pula ditempat kediamannja. Kalau tidak jang dekat, jang djauh mungkin diperhampirnja.
Tapi semua itu rupanja tidak berhasil!
Disaat jang demikian itulah rupanja terbit kemasgulan jang tak
terderita, timbul putus-asa jang menghantjurkan „iman".
Iri hati melihat orang dikelilingnja jang senantiasa aman dan
tenteram sanubarinja. Dapat diamankan dan ditenteramkan walaupun apa malapetaka jang menimpa.
Ingin hatinja hendak seperti orang itu, orang jang ada mempunjai tempat bergantung, ada mempunjai satu kejakinan dan pegangan dalam hidupnja, jakni kejakinan jang dinamakan orang
„kepertjajaan agama".
Bagi Ehrenfest, ini tidak dapat ditjapainja !
Sebagai pelukiskan bagaimana keadaan batinnja pada waktu itu
ia menjatakan dalam salah satu suratnja kepada Prof. Kohnstamm.
„Mir fehlt das Gott Vertrauen. Religion ist notig. Aber wem sie
nicht moglich ist, der kann eben zugrunde gehen", — „]ang tak ada
pada saja, ialah kepertjajaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu.
Tetapi barang siapa jang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin
binasa lantaran itu, jakni bila ia tidak-bisa beragama".24)
Ruhnja berkehendak penjembahan kepada Tuhan akan tetapi
tidak diperdapatnja. Ia ingin dan rindu hendak mempunjai agama
akan tetapi tidak diperolehnya djalan ! Ini mendjadi satu azab jang
tak terderita olehnja... !
Jang amat mengharukan hati sahabat2-nja jang tinggal, ialah
„doa"-nja jang paling achir : „Moge Gott denen beistehen, die
ich jetzt so heftig verletze" — „Mudah2~an Tuhan akan menolong
kamu, jang amat aku lukai sekarang ini"!
Demikianlah gambar kebatinan seseorang jang pada lahirnja
boleh dinamakan „atheist" itu. Seseorang jang pada hakikatnja amat rindu untuk mempunjai Tuhan, tetapi tidak diperdapatnja dalam
hidupnja.
Se-olah2 dengan membunuh diri itu ia hendak mentjahari Tuhan
diseberang kubur, jakni diachirat dan supaja ia terlepas dari siksaan
ruhani jang dirasanja amat berat mengimpitnja didunia ini.
Kita bawakan peristiwa diatas ini akan djadi sedikit buah permenungan bagi kita semua. Moga2 djadi tjermin perbandingan !
Sebab kita jakin, bahwa diantara orang2 Barat ataupun diantara
kaum kita dinegeri kita disinipun, tidak akan mustahil pula adanja
terdjadi perdjuangan batin seperti jang diderita oleh mendiang
Prof. Ehrenfest itu. Jakni satu kerusakan batin jang pangkalnja
ialah pada kekurangan pimpinan ruhani diwaktu ketjil. Lantaran
ketinggalan memberikan makanan batin dalam didikan dan terlampau tjondong kepada pendidikan jang bersifat intelektualistis semata2. ,
Pendidikan jang demikian sebenarnja adalah mempertukarkan
alat dengan tudjuan. Itulah pendidikan jang ketinggalan dasar !
Mengenal Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempertjajai dan me-j
n jerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak harus mendjadi dasar
bagi tiap2 pendidikan jang hendak diberikan kepada generasi jang
kita latih, djikalau kita sebagai guru ataupun sebagai ibu-bapa,
betul2 tjinta kepada anak2 jang telah dipetaruhkan Allah kepada
kita itu.
Meninggalkan dasar ini berarti melakukan satu kelalaian jang
amat besar, jang tidak kurang besar bahajanja dari pada berchianat
terhadap anak2 jang kita didik, walaupun sudah kita sempurnakan
makan dan minumnja dan telah kita tjukupkan pakaian dan perhiasannja serta sudah kita lengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnja. Semua ini tak ada artinja apabila ketinggalan
memberikan dasar Ketuhanan seperti diterangkan diatas itu.
Wasiat seorang bapa :
Marilah sama2 kita dengarkan wasiat seorang bapa kepada anaknja jang sedang ia didik :
„Perhatikanlah tatkala Lukman berkata kepada anaknja jang sedang ia beri didikan : „Hai anakku, d janganlah engkau menjekutukan Tuhan, sesungguhnja sjirk itu ialah sS-besar2 kezaliman".
„Dan Kami wasiatkan kepada manusia, — jang dikandung oleh ibunja dengan menderita kepajahan jang sangat, sambil memelihara
serta melatihnya dalam masa dua tahun —, berhubung dengan kewadjibannja terhadap ibu bapanya itu : „Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada kedua ibu bapamu!" (Q.s. Lukman : 13—14).
Demikian Lukman memberi tjontoh. Demikian Quranus-sjarif
memberi isjarat kepada tiap2 bapa jang mempunjai anak, memberi
tahu apakah jang paling dahulu harus ditanam dalam sanubari anak
jang masih muda dan mudah dibentuk itu. Ialah perhubungan si
anak dengan Tuhannja, supaja ada „tali'Allah" tempat ia bergantung.
Perhubungan dengan manusia dan sesama machluk dapat diadakan kapan sadja waktunja. Akan tetapi perhubungan dengan Ilahi
tidaklah boleh di-nanti2-kan setelahnja besar atau berumur landjut.
Maka berbahagialah seorang anak apabila ia mempunjai seprang
bapa jang tahu menanamkan tauhid dalam sanubarinja sedari ketjilnja. Akan terpeliharalah ia dari pada malapetaka, karena senantiasa
ada perhubungan dengan Chalik jang mendjadikannja serta mengutamakan muamalah dengan sesama machluk. Itulah dua sjarat
jang lak dapat tidak harus dipakai supaja mendapat keselamatan
dan kebahagiaan-hidup, lahir1 dan batin.
„Malapetaka dan kehinaanlah yang akan menimpa mereka, dimana sadja mereka berada, ketjuali apabila mereka mempunjai perhubungan dengan Allah dan pertalian sesama manusia". (Qs. Al
'Imran : 112).
Tauhid dan Karaktervorming.
Marilah kita dengarkan pula pertjakapan seorang bapa dengan
seorang anaknja jang masih muda-remadja, tapi mempunjai watak
jang teguh dan luhur :
„Dan tatkala umurnya sudah landjut, berkatalah ia : „Hai anakku, aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelih engkau;
bagaimanakah pendapatmu dalam hal ini T'
„Anaknja mendjawab : „Ja bapaku, kerdjakanlah apa jang telah
disuruh itu; sungguh2 akan bapa ketahui bahwa aku ini termasuk
dalam golongan orang2 jang teguh dan kuat kebatinannya!" (Q.s.
As-Saffat : 102).
Begitulah djawaban jang diutjapkan oleh seorang muda-remadja,
Ismail terhadap bapanja Ibrahim, tatkala mendengar bahwa bapanja mendepat perintah dari Ilahi supaja menjembelih dia untuk di kurbankan. Sedikitpun hatinja tak berguntjang menghadapi akan
berpisah badan dengan njawa, bilamana memang kalau sudah begitu kehendak dari Ilahi.
Ia berani hidup di-tengah2 dunia, jang kata orang penuh dengan
tipu-daja dan ketjewa, tapi iapun berani pula mati untuk memberikan bakti-darmanja bagi kehakiman Ilahi di jaumilmahsjar. Lantaran hidup dan matinja telah diperuntukkannja bagi Allah Rabbul-
'alamin se-mata2.
Demikianlah hidup orang jang mempunjai pedoman.
Itulah buah didikan jang berdasarkan tauhid.
Dari Pedoman Masjarakat.
Rujukan: M. Natsir, Kapita Selekta, (Bandung, Sumup, 1961), h. 107-113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar